Gunung Rinjani

Welcome to my site

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

GALERI

GALERI
GALERI

Jumat, 22 Juli 2016

Eloknya Pura Luhur Giri Arjuna Kota Wisata Batu

pura luhur giri arjuna endikguide@blogsport.com
     Menapak sisi Barat lereng Gunung Arjuno, di sana kita akan menjumpai Pura Luhur Giri Arjuno. Tepatnya pura ini berada di Desa Tulung Rejo, Dusun Junggo, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, Jawa Timur. Setelah melewati Dusun Junggo, jalan menuju Pura diapit kebun apel. Pemandangan Gunung Arjuno yang memukau, menghilangkan rasa lelah sehabis menempuh empat jam perjalanan dari arah Surabaya.
         Sesampai di lokasi pura, berdiri Candi Bentar pemisah antara Nista Mandala dan Madya Mandala yang terlihat megah dan istimewa. Di sebelah kiri dan kanan Candi, patung penjaga berdiri tak kalah gagah. Pepohonan hijau yang tersusun, turut menambah keasrian Pura.
        Pura Luhur Giri Arjuno sendiri, diusung oleh 80 Kepala Keluarga yang beragama Hindu Dharma. Sebelum Pura ini berdiri, dusun Junggo sudah memiliki Pura Indrajaya dan satu sanggar pemujan. Hari Raya Galungan dan Kuningan dilaksanakan di Pura Indrajaya, sementara Hari Raya Nyepi, Siwaratri, dan Saraswati dilaksanakan di Pura Luhur Giri Arjuno. Di lokasi berdirinya sekarang, di dekat Pura Luhur Giri Arjuno juga berdiri padepokan Pelinggih Hyang Sarip. Saat ini, Pelinggih Hyang Sarip berada tepat di depan Pura. Warga menjaga tradisi, bahwa sebelum memasuki area Pura, setiap yang masuk, diharuskan untuk meminta ijin terlebih dahulu di Pelinggih tersebut.
         Sebenarnya, Tulung Rejo memiliki tiga agama besar. Di sana, ada tiga agama yang dianut oleh warga, yaitu Islam, Kristen dan Hindu Dharma. Meski agama yang dianut berbeda, toleransi sesama warga tampak sangat tinggi. Misalnya ketika umat Hindu membangun pura, umat lainnya ikut serta membantu. Baik menyumbangkan tenaga, maupun material mereka. Begitu juga sebaliknya, ketika salah satu agama merayakan hari besar, umat lain turut menghormati. 
        Hampir seluruh warga desa Tulungrejo bermata pencaharian sebagai petani sayur dan petani apel. Jika pagi tiba, para petani tampak berjalan bersama menuju ladang. Bergegas mengurusi kebun apel, memanen bunga kol, memberantas hama dan beberapa kegiatan rutin lain. Semua dikerjakan bersama, sembari menikmati indahnya perbedaan.
        Menurut penduduk sekitar, pada tahun 1954 wilayah Desa Tulung Rejo merupakan tanah milik orang Belanda. Petani penggarap menyebutnya sebagai "Tanah Tuan Gebes". Usai era penjajahan, petani-petani penggarap "Tanah Tuan Gebes" mengusulkan agar wilayah garapan tersebut diberi nama Kampung Tegal Sari. Usul itu pun disepakati. Kemudian keabsahannya diajukan ke pemerintahan setempat. Kala itu, pemerintah memberikan dua syarat bagi Kampung Tegal Sari, yaitu kepemilikan sumber air bersih dan tempat ibadah.
       Syarat pertama dengan mudah terpenuhi. Namun untuk tempat ibadah, dirasa perlu untuk dibicarakan terlebih dahulu. Akhirnya, warga desa sepakat untuk mendirikan Masjid yang letaknya di tengah Desa Junggo dan Gereja di bagian bawah Desa Junggo, tepatnya di dekat pintu masuk.
endikguide@blogsport.com
       Khusus untuk pendirian Pura, terjadi sedikit konflik antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda menghendaki pembangunan Pura di sisi Utara dekat Jembatan Krecek dan di pertengahan perkebunan Tegal Sari atas pertimbangan jarak tempuh warga menuju Pura. Sedangkan kaum sesepuh menghendaki lokasi di atas Kampung Tegal Sari, yakni di sekitar Pedepokan Hyang Sarip. Akhirnya warga mengambil jalan tengah dengan cara memilih tanah lokasi berdasarkan arahan orang pintar atau paranormal yang ada di Bali. Sejak itu, dikirimlah ketiga contoh tanah ke Bali. Dan akhirnya, tanah di sekitar padepokan Hyang Sarip terpilih sebagai lokasi. Ini didasarkan pada energi positif yang dipancarkan oleh tanah tersebut. Selain itu, warga Hindu setempat percaya di lokasi itu terkubur Candi Pawon, bekas peninggalan prajurit Majapahit, yang sampai sekarang masih misterius keberadaannya. 
    “Leluhur berpesan bagaimanapun susahnya, apapun tantangannya, walaupun seorang diri, tetaplah menjadi umat beragama Hindu Dharma. Jadi jika bukan generasi selanjutnya, siapa lagi yang akan meneruskan tradisi ?” demikian ujar Mangku Ahmad, salah satu dari lima pemangku yang bertugas di Pura Luhur Giri Arjuno. Mangku Ahmad juga menghimbau, agar umat tetap menjaga eksistensi Hindu, meski kini berada di Lereng Gunung.



        Menyikapi sedikitnya umat, warga di sana memiliki aturan tidak tertulis yang berlaku untuk kalangan umat Hindu. Jika menikah, mereka mengharuskan untuk menikah dengan sesama umat Hindu. Namun jika pasangan yang didapat berasal dari umat lain, baik pria maupun wanita, mereka harus menganut agama Hindu. Jika pasangan tidak bersedia pindah agama, maka pernikahan tidak akan dilangsungkan atau dibatalkan oleh warga.
     "Jika tidak demikian, siapa lagi yang akan meneruskan tradisi umat di sini ? Khususnya merawat Pura Luhur Giri Arjuno, Pura Indrajaya dan sanggar pemujan," demikian terang Mangku Ahmad. Untuk itu, umat selalu melaksanakan acara rutin guna memperat ajaran agama. Pesantian, dialog agama dengan pemuka agama, kerawitan, serta kegiatan-kegiatan lainnya, terus digerakkan guna mengutamakan kebersamaan di antara mereka.
       Pura ini mempunyai daya mistis yang cukup luar biasa. Menurut Romo Mangku Akhmad, yang juga sesepuh umat Hindu di Kota Wisata Batu, Pura ini dibangun dengan berbagai kejadian aneh yang tidak biasa. Pengalaman mistisnya mewarnai pembangunan Pura Luhur Giri Arjuno ini.
       Umat Hindu menganggap bahwa setiap orang yang berdoa di Pura ini maka semua doanya akan dikabulkan oleh Sang Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa). Oleh karena itu, tidak heran setiap minggunya banyak pengunjung yang beragama Hindu dari berbagai daerah di Jawa Timur maupun dari Provinsi Bali yang melakukan persembahyangan di Pura ini. Pura Giri Arjuno saat ini merupakan bagian dari wisata religi yang ada di Kota Wisata Batu.

       Pura  Luhur Giri Arjuna ini dulu adalah tempat bertapanya Empu Sendok untuk membuat keris . Dimana waktu itu Empu Sendok membuat keris di Candi Songgoriti sebab ada 2  mata air yang panas dan dingin


       Akses kesana kita harus menngunakan kendaraan kecil sebab jalan yang lika liku dan sempit. Kita bisa menggunakan kendaraan angkutan desa  yang disediakan oleh pemangku pura . Bila kita kesana  jangan lupa membawa jaket kalo malam karena suhu disana mencapai 10 derajat celcius . Dan jangan lupa kita kesana free tapi disediakan kotak pundiah ( amal ) . Banten juga ada yaitu alat untuk sembayang


    Bila kesana bisa contak 081333196339 endikbatu12@gmail.com untuk anggutan menuju menuju kesana.   

           

Selasa, 28 Juni 2016

Sejarah gunung bromo

Sejarah Gunung Bromo Tengger Jawa Timur

Sejarah Gunung Bromo | Legenda Bromo Tengger – Wisata Bromo. konon pada jaman dahulu kala ketika kerajaan majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah penduduk pribumi kebingungan untuk mencari tempat tinggal hingga pada akhirnya mereka terpisah menjadi 2 bagian yan pertama menuju ke gunung Bromo, kedua menuju Bali. Ke 2 tempat ini sampai sekarang mempunyai 2 kesamaan yaitu sama – sama menganut kepercayaan beragama Hindu. Disebut suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng juga Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger itu. “Teng” akhiran nama Roro An-”teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-”ger” dan Gunung Bromo sendiri dipercaya sebagai gunung suci. Mereka menyebutnya sebagai Gunung Brahma. orang Jawa kemudian menyebutnya Gunung Bromo.
Kisah tentang  asal – usul legenda Gunung Bromo.
Di sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana / Pandhita baru saja melahirkan seorang putra dengan fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, karenanya bayi tersebut diberi nama ” JOKO SEGER “.

Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik juga elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng.Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.
          Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara Anteng terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.
          Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) sehingga pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu. Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.
           Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Rasa kesal dan marah dicampur emosi, pada akhirnya Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang sampai sekarang dinamakan Gunung Batok

        Dengan kegagalan Bajak itu membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari, Rara Anteng dan Joko Seger menikah sehingga menjadi pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling mengasihi dan mencintai.
      Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

        Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar di karuniai keturunan.
         Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya, kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata tentang Sejarah Gunung Bromo | Legenda Bromo Tengger, pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita sehingga kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
         Kusuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api kemudian masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib: ”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Syah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji yang berupa hasil bumi kemudian di persambahkan kepada Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo. sampai sekarang kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
        Begitulah Sejarah Gunung Bromo | Legenda Bromo Tengger semoga cerita ini menjadi budaya yang tak terlupakan, hingga sampai sekarang Gunung Bromo menjadi tempat begitu indah juga menjadi lokasi Wisata Gunung Bromo meski di selimuti banyak misteri.
ASAL USUL GUNUNG BROMO DAN SUKU TENGGER

Rinjani